Cerita Rakyat Mistik Palasik Mayik Bagian I
WARTABOLMONG.NEWS-Kisah bermula di sebuah jalur setapak desa, seorang pria paruh baya berwajah teduh dengan sepedanya melalui beberapa orang petani yang baru saja pulang dari mangaro atau kegiatan mengusir burung yang menjadi hama bagi padi ketika jelang musim panen.
Langit saat itu sudah mulai gelap dengan angin yang berhembus cukup kencang. Dari kejauhan, terlihat sekumpulan awan hitam yang bergerak mendekat ke arah perkampungan warga. Jika sudah begini, berada di sekitar sawah adalah hal yang berbahaya sehingga banyak petani yang memutuskan pulang lebih cepat.
Pada sepanjang jalan, sambil mengayuh sepedanya, sesekali pria itu melemparkan senyum yang tentunya dibalas dengan senyuman balik oleh para petani. Hingga salah satu ruas jalan, ia melambatkan sepedanya dan menuntunnya berjalan beriringan dengan dua orang warga yang ia kenal dekat.
“Banyak unggeh ko buuk?” (Banyak burungnya ibu?) sapanya dengan senyuman lebar.
“Eh Iyo Kanda, antah bisa tabaia cicilan koperasi ntah indak bisuak ko kok habih padi dek unggeh hahaha” (Iya Kanda, entahlah apa bisa kami bayar cicilan koperasi besok kalau padinya habis dimakan burung hahaha) canda balik salah satu petani itu pada Kanda.
“Eei, jan takah tu Io buk. Ambo nan paniang beko” (Eei jangan kayak gitu bu. Saya yang pusing nanti) jawabnya sambil tetap tersenyum.
“Aman aman Kanda, jan cameh lo” (Tenang Kanda, jangan khawatir begitu) ujar ibu yang lainnya.
“Nahh, kan sanang wak danga tu. Kok saparah tu bana unggeh, sato lo wak mangaro beko jo ibu ibu” (nah, kan enak didengarnya kalau begitu. Kalau emang separah itu hama burungnya, bisa bisa saya ikutan mangaro sama ibu ibu nanti) ujar Kanda yang dibalas dengan tawa ketiganya.
Candaan sesaat itu berakhir setelah Kanda izin kembali mengayuh sepedanya agar lebih cepat sampai ke rumahnya. Jorong Tangah adalah salah satu desa yang berada di Kanagarian Banda Gadang. Penamaan Banda Gadang yang berarti “Sungai Besar” karena memang ada sebuah sungai besar yang melintasi Kenagarian ini.
Ada 3 Jorong yang meliputi Kanagarian Banda Gadang, yaitu Jorong Bawah, Jorong Tangah dan Jorong Ateh (bawah, tengah dan atas) penamaannya sesuai posisinya berdasarkan lokasi desa itu berada terhadap alur sungai.
Masyarakat Jorong Tangah didominasi oleh petani berpenghasilan menengah bawah yang serba pas-pasan serta sangat bergantung oleh hasil panen sawah. Jika panen tidak maksimal, maka mereka harus memutar otak untuk memenuhi biaya selama 4 bulan setelahnya.
Untuk membantu para petani yang kesulitan, koperasi desa menyediakan layanan peminjaman uang kepada para warga yang membutuhkan dengan waktu tempo pembayaran menyesuaikan waktu panen. Tujuannya tentu agar tidak memberatkan warga yang uangnya hanya ada diwaktu waktu tertentu saja.
Iskandar, atau yang biasa dipanggil Kanda, adalah petugas koperasi yang ditugaskan pusat untuk menyalurkan sekaligus menarik pembayaran pinjaman di desa tersebut.
Pada salah satu sudut jalan, Kanda berbelok menuju sebuah rumah yang berjarak agak jauh dari rumah warga lainnya. Rumah tersebut adalah rumah dinas sederhana yang disediakan koperasi untuk tempat tinggal Kanda dan keluarganya.
“Assalamualaikum” Kanda menepikan sepeda tuanya di depan halaman lalu melangkah mendekati pintu rumahnya sore itu.
Belum sampai Kanda meraih gagang pintu, pintu itu sudah terlebih dahulu dibuka oleh Fajri, anak kedua Kanda yang baru duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar.
“Waalaikumsalam ayaah” sambutnya dengan mata yang berbinar dan senyum mengembang. Tangannya segera terbuka untuk memeluk ayahnya.
Melihat anak keduanya itu, rasa penat yang Kanda rasakan seakan hilang. Keduanya berpelukan beberapa saat seakan akan baru bertemu setelah sekian lama.
Dari dalam rumah juga muncul seorang anak laki laki lain yang berumur lebih tua tiga tahun dari Fajri dan sedang bersekolah di bangku SLTP. Tidak seperti Fajri, ia hanya mencium tangan Kanda lalu menawarkan diri membawakan tas selempang ayahnya itu ke dalam.
“Ibumu mana Fik?” tanya Kanda pada anak pertamanya itu sambil menggendong Fajri di depan tubuhnya.
“di dapur yah, lagi masak” jawab Taufik singkat.
Coba periksa di dalam tas ayah ada daun obat buat ibu. Minta tolong rebusin ya, terus suruh ibu minum” pesan Kanda.
“Ya yah” jawab Taufik sambil merogoh tas ayahnya. Di dalamnya terdapat sebungkus plastik berisi daun daunan yang Kanda kumpulkan dari beberapa tempat.
Taufik lalu membawa dedaunan itu ke dapur. Di belakang, ibunya tengah mengaduk gulai nangka menggunakan perapian dari bara batok kelapa. Aroma gulai yang menggoda bercampir aroma asap yang khas memenuhi seisi dapur, tanda tidak lama lagi masakan tersebut akan matang dan siap disantap.
Taufik mengambil air di bak penampung air hujan dan hendak merebusnya di kompor minyak tanah agar lebih cepat. Namun saat ia mengorek ngorek lubang tempat memasukkan minyak, ternyata minyak tanah di dalamnya sudah kering.
“A bakarajoan tu Fik?” (Ngerjain apa kamu fik?) tanya Ros, ibunya.
“Mau rebus air bu. Buat minum obat ibu. Tadi ayah bawain daun obat lagi” jawabnya sambil mengangkat kresek berisi dedaunan tadi.
“Minyak tanah habis, ini makannya ibu masak pakai tungku. Taruh aja dulu daun obat itu di meja. Nanti ibu yang rebus sendiri, terima kasih ya” jawab Ros sambil kembali mengalihkan pandangannya ke gulai yang ia jaga agar tidak pecah santan.
“Ibu gimana? udah agak mendingan?” tanya Taufik sambil menyodorkan bungkusan daun ke hadapan ibunya.
“sudah mendingan, alhamdulillah” jawab Ros dengan sedikit senyuman.
Taufik memandangi wajah ibunya dalam dalam. Ia tau wajah ibunya masih belum kembali seperti semula. Wajahnya masih agak bengap seperti orang yang baru saja menangis. Namun bukan itu alasan bengkaknya wajah Ros.
Kesehatan Ros selama satu bulan belakangan memang terus menurun. Ia mengidap suatu penyakit yang membuat tubuhnya dalam waktu tertentu membengkak, dan jika itu terjadi, ia akan demam disertai pusing yang menyiksa.
“Ibu gak mau periksa ke kota bu? Makin kesini muka ibu makin sering bengkaknya..” cemas Taufik.
“Gausah Fik. Udah cukup pakai obat obatan kampung. Kalau ibu ke kota, ibu khawatir ibu akan dirawat, kalau begitu nanti justru kamu,fajri dan warga kampung ini kesusahan..) jelas Ros.
“Tapi bu..” ucap Taufik.
“Assalamualikum bu Ross” tiba tiba dari arah depan terdengar suara wanita yang memanggilnya sehingga memotong percakapan kedua ibu dan anak itu.
“Waalaikumsalam, yo bu?” Kanda yang duduk di bangku ruang tengah yang menjawab salam itu.
“Maaf manggaduah sanjo sanjo Da. Ado Bu Bidan, Da?” (Maaf ganggu sore sore bang. Ibu bidannya ada?) tanya ibu itu bersama anaknya yang tertidur di balutan kain gendongan.
“Ado, ado, bu. Sabanta yo” (Ada bu. Sebentar ya) jawab Kanda dengan ramah dan mempersilakan ibu tersebut duduk, sementara ia pergi ke dapur untuk menjemput istrinya.
“Ros, ado urang ka barubek di muko” (Ros, ada orang yang mau berobat di depan) ucapnya.
“Iyo da.. Fik, aduk aduk sampai agak kental sedikit lagi ya. Ibu mau lihat dulu orang yang datang” pesan Ros pada Taufik yang segera mengambil alih spatula kayu dari tangan ibunya.
Taufik hanya menghela nafas melihat kesibukan ibunya sambil terus mengaduk gulai itu.
Ros menempel nempelkan tangannya yang basah ke baju dengan tujuan mengeringkan tangannya itu dan bergegas ke ruang tengah.
“sabanta yo buu” (sebentar ya buu) ujarnya pada ibu tadi dengan setengah berteriak dari dapur.
Ros adalah seorang bidan kampung yang mengabdi di Jorong Tangah meskipun ia sendiri bukanlah berasal dari desa ini. Ros berasal dari perkampungan di Kenagarian lain.
Sebelumnya, ia membuka praktik bidan di kenagarian asalnya sekaligus merawat ayahnya, yang saat itu adalah satu satunya anggota keluarganya yang tersisa, di kampung halamannya. Semula Kanda ditugaskan di kampung asal Ros itu hingga akhirnya keduanya menjalin kasih, menikah dan memiliki dua orang anak.
Namun dua tahun belakangan, Kanda dipindah tugaskan di Jorong Tangah. Mau tidak mau Ros dan Kanda berpisah selama beberapa saat karena Ros tidak bisa meninggalkan ayahnya sendirian.
Kepindahan Ros ke Jorong Tangah bersama Taufik dan Fajri baru terjadi dua bulan belakangan karena ayahanda Ros akhirnya tutup usia dan Kanda memintanya untuk tetap membuka praktek pengobatan di Jorong Tangah yang selama ini sangat kesulitan dalam hal bantuan medis.
Dalam kesederhanaan dan obat obatan yang terbatas, Ros mencoba membantu masyarakat Jorong ini.
Kehadirannya yang baru beberapa bulan nyatanya benar benar diharapkan oleh banyak warga, terutama mereka yang memiliki bayi atau balita dengan keluhan umum seputar kondisi kesehatan anak. Mereka yang selama ini kebingungan dan panik jika anaknya tiba tiba sakit, kini bisa membawanya ke rumah Ros untuk mendapatkan pertolongan medis.
“Iko adiak kurang serat bu, mangkonyo kareh taciriknyo. Cubo agiah batiak yo bu. Mambantu tu mah” (Ini adeknya kurang serat bu, makanya buang air besarnya keras. Coba kasih pepaya ya bu. Itu lumayan membantu) saran Ros kepada ibu yang membawa bayinya tadi.
“Jadi iko ndak parah do bu bidan? Marauang rauang nyo kalau malam” (Jadi ini tidak parah bu bidan? Dia sampai teriak teriak kalau malam)
“InsyaAllah indak bu. Namonyo anak ketek, pencernaannyo masih sensitif. Inyo marauang dek kapayahan mahajan tu mah. Iko ambo agiah vitamin bia adiak ndak lameh yo. Tapi tataok caro batiak tu yo bu” (InsyaAllah engga bu. Namanya anak kecil, pencernaannya masih sensitif. Itu dia teriak teriak karena kesal ngedennya keras. Ini saya kasih vitamin biar adek gak lemas ya. Tapi pepayanya tetap dikasih ya bu) jawab Ros meyakinkan.
“Iyo.. awak kiro kok kanai palasik gai anak ko. Tu takuiknyo ambo” (Iya.. saya kira jangan jangan dia kena palasik. Itu yang saya takutkan) ujar ibu tadi sembil mengelus ngelus punggung anaknya yang terlihat lemas karena sudah beberapa hari tidak buang air.
Ros hanya tersenyum dan menasehati agar ibu dari anak tadi tidak perlu khawatir. Hal hal klenik memang masih umum dan dipercaya masyarakat Jorong tersebut, termasuk kepercayaan bahwa ada palasik yang menghantui anak anak hingga membuatnya sakit. Kebanyakan orang yang percaya bahkan memasangkan gelang logam di tangan anak mereka yang bertujuan sebagai penangkal.
Selama dua bulan di Jorong Tangah, selain memberikan obat, Ros juga memberikan edukasi untuk mengedepankan pengobatan medis daripada penangkal penangkal klenik yang dikenal di masyarakat. Bagi Ros, hal ini perlu dilakukan untuk menekan kesalahan penanganan pada keluhan balita yang sering kali justru berbahaya bagi nyawa anak itu sendiri.
Meskipun perkembangannya lambat, tapi sudah ada beberapa keluarga muda menerima masukan itu ditandai dengan tidak adanya aksesoris penangkal pada anak anak mereka.
Namun penyuluhan dari Ros ini juga mendapat tentangan dari orang orang tua yang memaksa cucu cucu mereka tetap memakai penangkal itu. Bagi golongan orang tua, hal hal klenik dan medis harus dijalankan secara bersamaan. Apalagi selama ini kepercayaan itu sudah dipegang secara turun temurun lintas generasi sebagai sebuah budaya keluhuran.
“Ado lai nan bisa ambo bantu bu?” (ada yang bisa dibantu lagi bu?) tanya Ros dengan lembut.
“Alah alah bu bidan. Tarimo kasih banyak yo” (sudah sudah bu bidan. Terima kasih banyak ya)
Ros mengangguk dan tersenyum pada ibu dan anak itu. Ibu yang membawa anak tadi kemudian berpamitan pulang setelah menerima obat dari Ros.
Ros memang tidak meminta adanya bayaran tetap bagi pelayanan kesehatan yang ia berikan. Baginya, melihat senyuman anak anak yang sehat dan orang tua yang tidak dipusingkan dengan kesehatan anaknya adalah bayaran yang setimpal bagi seorang tenaga medis kampung.
Walaupun demikian, tidak jarang para warga yang merasa pernah dibantu Ros dan Kanda membagikan sedikit hasil pertanian atau perkebunan mereka sebagai bentuk terima kasih disaat panen tiba.
Ros membereskan peralatan bidannya dan tidak lupa mencatat pengeluaran obat yang ia bagikan cuma cuma pada pasiennya. Beberapa bulan sekali ia akan menitip obat obatan pada Kanda yang pergi ke kota karena apotik tidak ada di sekitar Nagari Banda Gadang.
Di daerah asalnya, Ros terbilang cukup mampu. Mendiang ayahnya mewariskan beberapa aset dan sawah yang digarap oleh para orang kepercayaan ayahnya dulu. Ros hanya perlu menerima persen bagian setiap panen berlangsung sebagai pemilik tanah. Uang itulah yang Ros pakai untuk menambal lubang pengeluaran praktiknya baik di kampungnya dulu maupun di Jorong Tangah sekarang.
Pembukuan Ros terhadap para pasiennya terbilang sangat lengkap. Ia menuliskan nama anak, tanggal, jenis keluhan dan obat yang sudah ia berikan. Gunanya agar mempermudah rekam medis pemberian obat pada periode selanjutnya.
Saat sedang menulis di bukunya, konsentrasi Ros buyar karena mendengar suara dentingan piring dan sendok dari luar.
“Yo ayo makan makaaan” teriak Fajri dari ruang tengah dengan riang sambil menenteng empat piring kosong disertai empat buah sendok diatasnya.
“Ros, nah makan dulu basasamo” (Ros, ayo makan dulu sama sama) panggil Kanda yang mengintip dari gorden pemisah antara ruangan periksa dan ruang tengah rumah itu.
“Yo da” (Iya bang) jawabnya sambil bangkit dan berjalan ke meja makan.
Lauk lauk sederhana tapi begitu menggoda sudah terhidang di meja. Semua menu yang ada berasal dari tumbuh tumbuhan yang tumbuh subur di Jorong Tengah, diantaranya gulai nangka serta tumis kangkung yang tumbuh subur di tepian sungai kecil yang ada di desa. Diantara semua menu yang ada, gulai nangka adalah menu favorit keluarga ini. Bahkan dalam seminggu, bisa dipastikan ada hari dimana gulai nangka menjadi menu makanan mereka.
Kanda melihat ke jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul setengah tujuh malam, walaupun suara toa surau tidak terdengar sampai rumahnya dan langit diluar gelap sejak ia pulang tadi, namun ia hapal waktu sudah memasuki waktu Magrib.
“sudah, ayo makan” ajaknya.
Ros menyendok nasi yang masih mengepul dan membagi bagikannya sesuai dengan porsi makan masing masing anggota keluarganya. Tidak lupa ia menuangkan kuah gulai yang cukup banyak ditambah beberapa potong nangka untuk Fajri, persis seperti kesukaan anaknya itu.
“kalau kurang, di belakang masih ada ya” pesan Ros pada Fajri agar ia tidak terlalu “berhemat hemat” memakan nangka di piring makannya.
“sudah diminum obat yang abang bawa tadi Ros?’tanya Kanda, membuka obrolan makan itu sambil mengaduk aduk nasi agar tidak terlalu panas.
“belum bang. Setelah ini Ros rebus”
“Eh? Masih belum direbus? Belum dikerjain perintah ayah tadi Fik?” tegur Kanda.
“Sudah yah.. tapi” Minyak tanah habis bang, tungku juga lagi dipakai buat masak tadi. Makanya si Taufik belum sempat rebusin obatnya.. nanti ibu rebusin sendiri,” elas Ros membela anaknya.
“Kamu belajar masak pakai tungku lah Fik. Uang ayah gak banyak buat beli minyak tanah terus. Belajar juga cuci baju dan masak sendiri, kalau bisa kerjain juga pekerjaan lain” nasehat Kanda yang lebih terdengar sebagai tuntutan.
“Iyo yah..” jawab Taufik berusaha tidak terpancing.
“Hush, sudah sudah, makan dulu, jangan ngebahas itu di meja makan” ujar Ros menenangkan keduanya.
“Bukan begitu Ros. Taufik ini udah besar, tapi masih banyak yang masih belum dia bisa. Mau jadi apa dia nanti?.. Seharusnya dia sekarang yang kerjain pekerjaan rumah, padahal dia udah liat ibunya sakit sakitan begitu” debat Kanda.
“Pelan pelan bang.. kan Taufik juga punya kelebihan lain. Bukan cuma kekurangan aja.. lagipula ibu juga udah mendingan, si Taufik juga udah banyak bantu dari pagi” ujar Ros menyelamatkan anaknya itu sambil menambahkan potongan nangka ke piring Taufik.
Mata Kanda sekilas memandang beberapa gambar tangan yang dipajang Ros di dinding rumah. Gambar gambar itu adalah hasil karya Taufik yang ia buat selama ini. Sebagian besar adalah panorama pedesaan dan orang orang yang sedang beraktivitas di dalamnya. Uniknya, semuanya adalah gambaran Jorong Tangah yang dituangkan Taufik pada kertas gambarnya.
Ros begitu bangga dengan kemahiran anaknya itu dalam menggambar serta mengingat visual. Umumnya gambar gambar itu berlatar sudut sudut desa yang Taufik gambar bermodalkan ingatannya saja ketika melewati lokasi itu selama 2 bulan tinggal disini. Meskipun hanya melihat sekilas, Taufik bisa menggambarkannya ulang dengan kemiripan yang bisa dikatakan sangat akurat.
Namun bagi Kanda bakat itu bukanlah hal yang bisa dibanggakan, ia menginginkan Taufik punya kelebihan secara kekuatan fisik atau setidaknya kemampuan akademis yang berhubungan dengan matematika.. Sayang, Taufik lemah pada kedua hal itu. Tubuhnya kecil dan ia sering sakit sakitan sejak lahir.
“Halah.. Kapandaian ndak manjadian pitih tu a gunonyo..” (Halah.. Kepandaian kalau gabisa ngehasilin uang buat apa gunanya) ujar Kanda sambil mengaduk aduk nasinya hingga bercampur dengan kuah.
Taufik tertunduk dan menghela nafas, namun ibunya segera menatap matanya dan memberikan senyuman seakan akan mengatakan untuk tidak memasukkan ke hati ucapan ayahnya. Ros selalu mengajarkan Taufik untuk bersabar menghadapi tuntutan ayahnya dan berpikiran positif pada beliau. Pendidikan moril dari ibunya ini berhasil, Taufik memiliki mental yg kuat dan pemberani untuk seukuran umurnya.
Berbeda dengan istrinya, Kanda adalah seorang pribadi yg sudah hidup mandiri sejak kecil. Menjadi yatim piatu sejak SD membuatnya ditempa keadaan hingga menjadi pria yang serba bisa demi mendapatkan pundi pundi rupiah. Berjualan apapun, bekerja sawah, bahkan pekerja bangunan pernah ia lakukan demi bertahan hidup. Tekad dan kemauannya itu yang pada akhirnya mengantarkannya pada pekerjaan sekarang.
Sikap Kanda memang agak berbeda terhadap kedua anaknya. Jika dengan Fajri ia begitu lembut dan penuh kasih sayang, maka kepada Taufik ia menerapkan pendidikan yang cukup tegas dan disiplin. Menurutnya, seorang laki laki harus bisa bertahan hidup sendirian dan menguasai banyak hal. Beruntung bagi Taufik, Ros sang ibu selalu bisa membuat suasana yg sering tiba tiba tegang itu menjadi reda dengan cara netral.
“Ingat ingat. Kamu itu abang. Ayah sama ibu gaakan selamanya ada terus buat bantu kamu dan adikmu itu. Kalau nanti kami udah gaada, ya Fajri ini jadi tanggunganmu” ujar Kanda menutup sesi nasehat di meja makan malam itu dan kembali menyuap nasi ke mulutnya.
Baru saja beberapa suapan, tiba tiba rintik hujan terdengar jatuh mengenai atap seng rumah mereka. Taufik yg sedang menyuap sontak terhenti dan bangkit karena menyadari suatu pekerjaan yg terlupa ia lakukan tadi.
“Ha, lupo mambangkik kain??” (Ha, lupa angkat jemuran??) tebak Ros melihat wajah panik Taufik.
“Bantu bang dek!” (Bantuin abang dek!) pinta Taufik pada Fajri sambil berlari ke pintu belakang tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
Taufik meninggalkan meja makan dan berlari ke jemuran yg terletak di belakang dapur. Fajri yang sebenarnya juga masih mengunyah nangka segera menyusul abangnya. Seharusnya keduanya sudah mengangkat jemuran itu sebelum malam tiba, namun mereka terlalu sibuk bermain hingga lupa.
Catatan: Cerita rakyat ini sebelumnya sudah ditayangkan di platform media sosial Instagram dengan akun @mwv.mystic dan sudah disetujui oleh pihak mereka untuk diterbitkan di media online wartabolmong.news. Kelanjutan cerita masih akan terus berlanjut, oleh karenanya mohon dukungan dengan cara meninggalkan kesan, kritik dan saran di kolom komentar.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.